save world

Minggu, 20 Desember 2009

Pengelolaan Sampah, Mulai dari Lingkungan Terkecil



KEMAUAN untuk mengurangi sampah dan kearifan dalam mengelola sampah harus menjadi bagian dari kesadaran individu. Sudahkah Anda membuang sampah pada tempatnya? Tiada hari tanpa sampah.
Setiap hari, bahkan setiap detik, selalu ada saja benda yang terbuang dan menjadi sampah. Dari sisa makanan, puntung rokok, plastik wadah makanan, botol minuman, hingga kaleng bekas. Tak heran bila sampah di Jakarta saja beratnya mencapai 6.000 ton per hari, atau setara dengan setengah volume Candi Borobudur (volume Borobudur sekitar 55.000 meter kubik).

Sampah bila dibuang di tempat yang semestinya mungkin tidak begitu masalah. Namun, bagaimana dengan sampah-sampah yang terserak di jalanan atau tersumbat di saluran air dan sungai?

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta mencatat, 28 persen sampah Jakarta yang tidak terangkut masuk ke dalam selokan. Ditambah lagi dengan dua per tiga area drainase yang dipenuhi sedimentasi, maka sudah sepatutnya banjir menjadi ancaman.

Membuang sampah pada tempatnya adalah bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang bisa dipelajari dan dibiasakan. Masalahnya, mengubah perilaku tak semudah membalik telapak tangan. Ironisnya lagi, kebiasaan membuang sampah sembarangan telah menjadi "budaya" yang diwariskan dan dianggap lumrah.

Simaklah kejadian pada suatu siang di stasiun kereta api Tebet, Jakarta Selatan. Seorang ibu sedang menunggu kereta api bersama dua anaknya yang masih usia TK. Si anak perempuan tampak merengek minta jajan. Si ibu pun mengeluarkan beberapa lembar permen karet.

Dibukanya bungkus permen karet satu per satu, lalu diselipkan isinya ke mulut putrinya, kemudian putranya, dan terakhir untuk dirinya sendiri. Sejurus kemudian apa yang terjadi? Dengan entengnya, si ibu membuang sembarangan tiga lembar kertas pembungkus permen karet tepat di hadapan kedua buah hatinya.

Kejadian tersebut adalah kenyataan yang kerap dijumpai sehari-hari dan cenderung dianggap hal biasa. Padahal, efeknya bisa jangka panjang dan terbawa sampai si anak dewasa kelak. Ya, anak adalah peniru ulung. Perilaku yang dilakukan di depan anak-anak, apalagi berulang-ulang, maka secara sadar ataupun tidak akan ditiru.

Maka jangan heran, bila suatu ketika anak dengan cuek-nya membuang bungkus kacang lewat jendela kaca mobil yang ditumpanginya, atau tanpa rasa bersalah melempar kulit pisang di halaman rumah tetangganya.

Psikolog anak dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Wahyuni Kristinawati mengatakan, ajaran membuang sampah pada tempatnya bisa dilakukan sedini mungkin sejak anak sudah memahami instruksi sederhana (usia 1,5?2 tahun). Sebagai penunjang, jangan lupa menyediakan tempat sampah di rumah yang mudah dijangkau anak.

"Metode yang dipakai pun bisa berbeda untuk tiap tahapan usia. Untuk anak TK caranya bisa sambil bermain peran, sedangkan anak SD umumnya sudah bisa diajak bicara atau berdiskusi untuk anak yang lebih besar," ujarnya.

Selain melalui obrolan atau nasihat, kata Yuni,anak juga harus dilatih untuk peka dan merasakan sendiri bahwasanya lingkungan yang bersih tanpa sampah itu ternyata memang jauh lebih enak dibanding lingkungan yang berserakan sampah.

"Istilahnya natural reinforcement, semacam penguat natural yang melekat pada suatu perilaku. Kalau ini sudah tertanam, otomatis anak akan merasa risih sendiri saat berhadapan dengan lingkungan yang kotor," tandasnya.

"Berdasarkan pengalaman, anak-anak usia sekolah umumnya lebih responsif untuk diajarkan pendidikan kesehatan lingkungan. Kalau orang dewasa, selepas pendidikan biasanya hanya beberapa saja yang tersadar, belum menjadi semacam gerakan yang masif," timpal aktivis lingkungan dari RMI "The Indonesian Institute for Forest and Environment", Nani Saptariani.

Nani yang kerap melakukan penelitian dan penyuluhan lingkungan di sejumlah desa di Jawa Barat itu mengungkapkan bahwasanya saat ini sampah tidak hanya menjadi masalah di perkotaan, pedesaan pun menghadapi kondisi serupa. Dulu, kata Nani, orang desa umumnya memiliki tungku yang berfungsi untuk memasak sekaligus membakar sampah nonorganik.

"Nah, sekarang tungku di desadesa juga sudah digantikan dengan kompor gas, padahal sampah masih akan terus ada. Untuk itu diperlukan pengorganisasian ke masyarakat, mulai yang terkecil misalnya pengelolaan sampah berbasis RW (rukun warga)," paparnya.

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Ubaidillah sepakat akan perlunya pendidikan berkesinambungan perihal penanganan sampah yang bijak, karena bagaimanapun sampah akan terus berproduksi dan tidak mustahil jadi berpolusi jika pengelolaannya tidak baik. Ambil contoh korosi sampah logam dapat mencemari tanah dan kualitas air tanah di dalamnya.

"Sampah berasal dari masyarakat, maka masyarakat jugalah yang harus berupaya menyelesaikan masalahnya," katanya.

Sebagai catatan, proporsi sampah yang berasal dari rumah tangga merupakan yang tertinggi, yakni mencapai 53 persen. Untuk itu, keluarga (rumah tangga) sebagai elemen terkecil masyarakat harus memulai upaya bijak ini. Pengelolaan sampah rumah tangga terdiri atas pengurangan sampah dan penanganan sampah.

Pengurangan sampah bisa berupa pembatasan timbulan sampah (reduce), pendauran ulang sampah (recycle), dan pemanfaatan kembali sampah (reuse).

Sementara tindakan penanganan sampah meliputi pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah.

"Pemilahan sampah semestinya terdiri atas tiga, yaitu sampah organik yang mudah terurai; sampah nonorganik yang sulit terurai; dan sampah berbahaya semisal botol bekas obat serangga dan oli," saran Ubaidillah. (Koran SI/Koran SI/nsa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar